"If I could get another chance
Another walk, another dance with him
I’d play a song that would never, ever end
How I’d love, love, love to dance with my father again" – Luther Vandross
Melihat dua putri kecilku bermain bersama ayahnya, seolah melihat bayangan diriku disana, bersama sosok yang tidak pernah berhenti aku rindukan, yang sampai detik ini aku selalu berkata pada semua orang, papaku hanya pergi sebentar untuk tidur yang panjang tapi sangat sebentar...
Another walk, another dance with him
I’d play a song that would never, ever end
How I’d love, love, love to dance with my father again" – Luther Vandross
Melihat dua putri kecilku bermain bersama ayahnya, seolah melihat bayangan diriku disana, bersama sosok yang tidak pernah berhenti aku rindukan, yang sampai detik ini aku selalu berkata pada semua orang, papaku hanya pergi sebentar untuk tidur yang panjang tapi sangat sebentar...
Suatu hari nanti papa akan menjemputku lagi dari tempat kerjaku, mengajakku makan nasi jamblang kesukaan kami berdua, berlama-lama di toko buku, bercerita tentang kejadian di hari itu, memasakan makanan kesukaanku dan akan marah apabila tidak aku habiskan.
Aku rindu bermanja-manja padanya, disuapi saat sudah hampir terlambat bekerja, membopongku ke tempat tidur saat ketiduran di sofa sehabis nonton Meteor Garden, rindu suara dehemannya saat pacarku pulang kemalaman, mendengarkan instrumen biola berdua, menemaniku les biola, diam-diam mengikuti bis yang mengantarku ke acara karyawisata, menungguku di teras rumah sampai aku pulang diantar pacarku setiap Sabtu malam, menghiburku dengan menyanyikan lagu Waltzing Matilda sambil menari-nari dan berputar-putar hingga kepalaku pusing.
Senyumannya, tawanya, bernyanyi dengan suara keras, kemarahannya, nasihat-nasihat yang dulu sering aku abaikan, semuanya, aku ingin merasakannya lagi.
Bagiku, papaku bukan hanya sekedar ayah atau sahabat, beliau adalah patronusku! Pemberi kekuatan positif seperti perisai yang mengusir kekuatan negatif, mengusir kesedihanku, mengusir kegusaranku.
Patronus yang entah bagaimana cara mendatangkannya. Bukankah cara memanggil patronus adalah dengan memikirkan kenangan yang sangat membahagiakan, kenangan indah yang melekat sangat kuat? Yang tak cukup sampai mengingat, tetapi membiarkan kenangan tersebut membawa merasuk kedalamnya?
Tak sulit rasanya bagiku untuk mengingat-ingat peristiwa yang paling membahagiakan, yang paling menyenangkan, sekalipun aku sedang berada dalam emosi tersulit, dalam kesedihan mendalam maupun saat kesulitan datang mendera. Karena bagiku semua hariku bersama papaku, sang patronus itu sendiri, adalah hari-hari yang selalu membuat hatiku membuncah bahagia.
Haruskah aku berteriak “Expecto Patronum” berkali-kali? Atau menyanyikan Waltzing Matilda sampai suaraku serak untuk memanggilnya?
Papa, lihatlah dua putriku yang belum pernah memanggilmu kakek, mereka pasti suka sekali ber-waltzing matilda bersamamu, mereka tidak akan keberatan untuk berputar-putar sampai pusing dan kelelahan, hingga nantinya harus kaubopong ke kamar tidur seperti diriku dulu....
Papa, aku menunggumu untuk mengajak kami menari...EXPECTO PATRONUM!!! Aku menunggumu, pelindungku!
Ya Tuhan, sungguh malam ini aku kangen sekali...
(11Project11days #7 @nulisbuku)
No comments:
Post a Comment